"UNTUK SAHUR!"
Untuk sahur |
"Untuk sahur!"
Sebuah suara mengagetkanku yang lagi asik main hape di depan kontrakan. Pusat suara ada di belakangku. Dan aku kenal betul suara siapa itu.
Itu suara ibu depan kontrakan. Saking asiknya main hape aku sampai tak menyadari si ibu jalan dari pintu samping rumahnya yang posisinya kubelakangi. Di tangannya ia membawa mangkuk keramik warna putih bergambar ayam yang khas itu.
"Untuk sahur!" ucapnya lagi sambil menyodorkan mangkuk tersebut.
Aku tentu saja seketika senang walau belum memperhatikan betul-betul apa isi mangkuk tersebut. Karena jujur saja, mendapati pemberian itu saja sudah sangat senang rasanya, terlepas apapun yang diberi. Mmm,,, maksudku, rasa senang itu timbul karena pemberian itu membuatku merasa diperhatikan. Pemberian itu melemparku ke suatu tempat yang jauh, berkilo-kilo meter dari tempatku berada saat ini: kampung halaman.
Yess,,, harusnya, jika semua berjalan sesuai rencana, malam ini aku sudah berada di kampung halaman untuk melewatkan momen puasa pertama bareng keluarga. Aku sudah menyiapkan beberapa hal yang ingin kubawa serta untuk oleh-oleh.
Malam minggu kemarin, kusempatkan belanja. Madu, kurma, gula khusus diabetes, dan beberapa ramuan herbal untuk mamak. Beberapa sahabat yang sudah lebih dulu pulang kampung pun sudah bertanya perihal kepulanganku. Rencananya sehari sebelum puasa (siang tadi) kami mau ngebakso bareng. Makin semangat dong mau pulkam.
Minggu siang kami harusnya sudah bergerak menuju kampung. Tapi Si Bro mengeluhkan kepalanya nyut-nyutan. Beberapa hari yang lalu ia memang demam. Tapi sudah mendingan sejak kuberi minum air secang. Tapi batuknya malah menjadi. Matanya sayu. Suaranya pun berubah, tak seperti biasanya. Suaranya besar khas orang sakit batuk. Ditambah lagi kepalanya yang nyut-nyutan. Ya sudah lah, aku memutuskan untuk menunda kepulangan.
Karena selain si bro yang batuk, aku juga sebenarnya lagi nggak enak badan. Pinggang rasanya mau patah karena tamu bulanan sedang bertandang. Mudah lemes dan nggak tahan duduk atau berdiri lama-lama. So, puasa kali ini seperti puasa sebelumnya yang kami lewatkan tanpa pulang kampung.
Malam ini, nggak disangka-sangka si ibu ngasih lauk untuk sahur besok. Kan akunya jadi terhura hahhahaa,,, receh banget aku ya. Dikasih lauk yang dimasak sendiri oleh si ibu gitu aja udah ngebuat aku ngerasa istimewa. Ya maklum ya, namanya jauh dari keluarga. Trus kan, budaya ngasih makanan ke tetangga ini jarang banget aku temui selama di Medan.
Kalau di kampung mah biasa ngasih sayur ke tetangga. Apalagi saat ramadhan. Inget banget dulu waktu masih kecil. Menjelang berbuka puasa dulu sering disuruh emak buat ngantar makanan ke tetangga. Biasanya makanan untuk berbuka. Entah itu bakwan, pisang goreng, atau aneka kue.
Kalau lagi masak enak, semisal motong ayam (iya, motong ayam peliharaan sendiri untuk dimasak itu menu spesial kalo di kampung), bisa dipastikan tetangga pun ikut kebagian.
Tradisi mengantari makanan ke tetangga ini sebenarnya nggak cuma saat ramadhan tiba. Hari biasa juga. Hanya saja saat bulan ramadhan intensitasnya semakin sering.
Masa kini, di kampungku tradisi memberi makanan ke tetangga mungkin nggak seperti dulu. Sudah sedikit memudar. Tapi masih ada. Berbeda dengan di kota yang nyaris tak pernah kutemui.
Saat-saat seperti ini aku bersyukur lahir dan besar di kampung. Melihat dan menjalankan tradisi-tradisi masyarakat pedesaan yang kental akan rasa persaudaraan. Tradisi saling memberi makanan ke tetangga ini mungkin kesannya sepele. Tapi saat dijalankan sebenarnya melatih kepekaan kita terhadap orang sekitar. Mengajarkan untuk berbagi sesederhana apapun yang kita miliki. Memupuk rasa kekeluargaan. Hangat dan akrab.
Tentang si ibu depan kontrakan yang nganterin lauk untuk sahur pun sebenarnya bukan hal baru. Lebaran tahun lalu, ketika kami memutuskan tak mudik karena covid, si ibu juga mengantari kami lontong khas lebaran buatannya. Dalam beberapa kesempatan ia juga terbilang sering memberi makanan ke kami.
Di luar tentang antar-mengantari makanan, si ibu ini memang kuakui orangnya baik. Tapi memang jalan empat tahun tinggal disini, kebiasaan mengantari makanan baru ada sekitar setahunan belakangan ini saja. Kalau kuingat-ingat sepertinya sejak beberapa kali emak memaketkan rambutan dari kampung yang kemudian sebagian aku kasi ke tetangga disini, termasuk si ibu ini. Ya, sepertinya memang untuk beberapa hal kita hanya perlu untuk memulai lebih dulu, agar setelahnya hal-hal baik itu menjadi kebiasaan yang mengeratkan tali persaudaraan.
Kembali ke mangkuk berisi lauk sahur pemberian si ibu, kuterima dengan senang hati. Masih panas, masih baru diolah ternyata. Aku mengucapkan terima kasih dan kami ngobrol sebentar. Setelah itu kami pun masing-masing masuk rumah karena memang sudah malam.
Marhaban ya Ramadhan, terima kasih Gusti Allah, sudah diberi penghiburan karena batal pulang kampung. Semangkuk lauk yang membuatku seakan merasakan hangatnya keluarga, bahagianya bertetangga. Semangkuk lauk yang kuterima dengan syukur dan senang hati. Apalagi setelah tau isinya adalah tauco udang tahu tempe dan kacang panjang. Senangnya dobel ya Allah :)
Tauco udang tahu tempe yang endes banget |
NB : di foto udangnya nggak keliatan karena udah dicicip duluan, maknyooss!
Medan, 12 April 2021
0 komentar