Ngopi Pagi Bersama Dubes Australia : Buat yang sering mampir di blog saya, pasti sering mendapati kata Cappuccino di rangkaian kata yang saya susun. Iya, saya termasuk yang suka kopi meskipun tidak termasuk addict dan lebih seringnya kopi sachetan. Saya paling suka jenis cappuccino. Seringnya sih minumnya siang, sore ataupun malam. Kalau pagi saya malah lebih sering minum teh.
Biasanya saya minum cappuccino bareng teman satu kontrakan. Atau kadang malah sendirian. Menikmati cappuccino sambil memandangi langit sore dari teras lantai atas rumah kontrakkan saya biasanya membawa efek merenungkan banyak hal *tapi bukan uring-uringan ya*. Apalagi kalau hujan turun, dijamin perpaduan cappuccino panas dan hujan turun akan sukses membawa saya ke masa-masa yang lalu.
Tapi Kamis pagi 15 Oktober 2015 kemarin sedikit berbeda. Pagi di kamis yang manis itu saya lewatkan tidak dengan minum teh, melainkan kopi. Bukan di rumah kontrakkan saya, melainkan di Kaffeine, sebuah kafe dengan menu-menu kopi yang terletak di Ground Floor No 7, Forum 9 Building. Bukan dengan Yoeger teman satu kontrakkan saya, melainkan dengan Dubes Australia dan staf-stafnya.
|
Kaffeine Kafe |
Saya datang bersama medanfoodblogger.com dan di lokasi bertemu 3 orang wartawan yang juga diundang. Mengenakan kemeja lengan panjang bermotik kotak-kotak kecil berwana putih-hitam, Paul Grigson mencicipi kopi yang tersaji di cawan-cawan kecil yang telah disiapkan di atas meja. Terdapat sembilan macam kopi yang semuanya berasal dari Aceh. Tiap kopi ini memiliki karakter rasa yang berbeda. Kalau tidak salah, istilah untuk aktifitas ini dinamakan ‘coffee cupping’ yakni mencicipi kopi dengan tujuan untuk menguji/mengetahui karakter dari kopi-kopi tersebut.
|
Paul Grigson melihat-lihat barista Kaffeine mengolah kopi |
Oya, ngopi pagi itu sebenarnya bagian dari kunjungan kerja Paul Grigson sebagai Dubes Australia. Ini merupakan kunjungan kerja pertamanya ke Medan. Dalam kunjungannya yang berfokus untuk menguatkan investasi, pendidikan dan hubungan dengan masyarakat Medan ini, ia juga menemui sejumlah tokoh politik, agama, bisnis, juga menggelar resepsi untuk para alumni Australia yang ada di Medan. Selama tiga hari di Medan, Paul juga mengunjungi gereja, masjid, dan menyempatkan untuk mencicipi racikan kopi yang terkenal dari tanah Sumatera.
Mungkin ada yang bertanya kenapa kopi *saya juga mikir demikian sodara-sodara hehhee..*. Karena kopi selain merupakan potensi besar yang dimiliki Sumut dan Aceh, juga karena ternyata warga Australia juga sangat menikmati kopi dari Indonesia dan menjadi bagian dalam hari-hari mereka. Paul Grigson sendiri secara pribadi juga merupakan pecinta kopi. So, dia pengen nyobain kopi langsung dari daerah tempatnya ditanam.
|
berbincang sembari menunggu kopi diseduh |
Coffee cupping session berlangsung dengan hangat. Paul beberapa kali menyodorkan mangkuk kecil berisi kopi yang sudah di-roasting untuk meminta pendapat saya. Saya yang sejujurnya tak tahu kriteria dan cara mengetahui kopi kualitas bagus, tak tega untuk mematahkan antusiasmenya. Saya pun mendekatkan biji-biji kopi itu ke indera penciuman saya. Aromanya tentu saja khas kopi. Tapi untuk mengetahui aroma karakternya secara lebih spesifik, saya sama sekali belum bisa. Saya hanya manggut-manggut, tersenyum dan mengatakan kopi itu bagus. Dia pun mengangguk dan mengatakan kalau karakter butter di kopi tersebut sepertinya lebih dominan. Ia mendekati meja dan kembali ke arah saya dengan mangkuk kecil berisi biji kopi yang lain di tangannya. Kembali ia meminta pendapat saya dan menyilahkan saya meneliti lewat aromanya.
“Better!”
Ucap saya singkat dengan maksud bahwa kopi yang ini lebih bagus dari sebelumnya. Dia manggut-manggut dan mengacungkan jempol ke saya, saya tersenyum senang karena merasa indera penciuman saya bisa diandalkan *ahaiiii..*
|
Dubes Australia, Paul Grigson (Baju kotak-kotak) |
Lagi-lagi Paul kembali membawa biji kopi yang lain. Kembali meminta pendapat saya. Hmm… saya kan jadi besar kepala, merasa jadi juri di kompetisi meracik kopi kelas dunia *kemudian kena pelototan para barista :D*. Paul bertanya mana yang lebih bagus dari sebelumnya, saya jawab “this one”, dia cuma manggut-manggut dengan pandangan yang sulit saya artikan. Mungkin kali ini kami tak sependapat. Atau mungkin dia baru menyadari kalau saya sebenarnya tak tau menau tentang kopi, ehehhee..
Cawan-cawan kecil yang tadinya kosong kini berisi. Kami pun dipersilahkan mencicipi. Dan… tiap cawan yang ditawarkan, buat saya rasanya sama, ada pahit-pahitnya, ada asam-asamnya hahhahaa.. tapi btw ya, beberapa kali menghadiri acara kopi-kopian gini, lidah saya masih lebih serasi sama kopi sachetan. Terus kan ya, saya salut deh sama mereka-mereka yang bisa bedain tiap karakter kopi yang mereka minum. Artinya indera penciuman dan indera perasanya tuh peka *berarti saya kurang peka dong ya #hiks..*
|
Menuang kopi |
Paul yang memang pecinta kopi dan sering mencicipi kopi dari berbagai daerah berpendapat kalau kopi Aceh ini unik denga karakter butter, cokelat, dan karakter lainnya serta memiliki potensi besar untuk diekspor. Di negaranya, kopi dari Indonesia merupakan kopi yang digemari.
|
Paul Grigson tengah menjawab pertanyaan beberapa wartawan |
Usai coffee cupping, Paul berbincang dengan empat petani kopi dari Aceh yang pagi itu juga mereka undang. Isi obrolan sudah pasti tentang kopi, pengalaman menjadi petani kopi dan hambatan yang mereka temui selama ini. Umumnya, keempat petani tersebut mengungkapkan jika modal adalah salah satu kendala yang kerap mereka hadapi. Selain itu, faktor cuaca yang berujung pada fasilitas juga menjadi kendala. Pohon-pohon kopi memproduksi biji kopi biasanya pada musim hujan, namun saat musim hujan justru masa yang sulit untuk menjemur kopi-kopi tersebut. Para petani ini membutuhkan fasilitas berbasis teknologi untuk menjemur kopi dan menyiasati musim. Sayangnya hal tersebut masih minim menurut mereka. Di tengah-tengah obrolan, Paul bertanya apakah mereka (petani) juga meminum (penikmat) kopi, pertanyaan tersebut sukses membuat mereka tergelak bersama sambil mengangguk dan berucap, ya tentu saja.
|
berbincang dengan petani kopi |
|
berfoto bersama |
Ngopi pagi bersama Dubes Australia ini pun diakhiri karena Paul dan stafnya harus menghadiri sebuah acara di USU. Ia pamit diri dan mengucapkan terima kasih sudah mau memenuhi undangan. Saat mereka melangkah keluar Kaffeine itulah saya baru sadar kalau cappuccino yang saya pesan sedari awal tadi belum tersentuh sedikitpun oleh bibir saya. Saya pun melanjutkan ngopi bersama medanfoodblogger.com dan beberapa wartawan. Kamis pagi itu, kopi menjadi perantara yang sukses menghadirkan obrolan singkat namun akrab saya dan Paul, saya pun jadi berandai-andai kopi menjelma jadi minuman yang mengeratkan hubungan kenegaraan Indonesia-Australia yang saling menguntungkan.
|
Gelas cappuccino saya, bisa isi ulang nggak ya xixiixi.. |
Kamu, apa cerita ngopimu?
3 komentar
Akusih gapernah ngopi lagi sekarang.. Dan akupun juga pasti bakal gak paham kalo ditanya mana kopi yg bagus dan mana yang nggak :'D
BalasHapussaya enggak begitu suka kopi, tapi aroma kopi memang membuat kepala jadi enak, kalau sedang pusing. Waaa...seneng sekali ya berbincang dengan Dubes Australia...tempatnya oke
BalasHapusSelama ini seringnya makan dan minum bersama Pak Dubes Indonesia untuk India, Belum sama pak Dubes lainnya.
BalasHapus