HUJAN DI BULAN MARET
Photo by : Perempuan November |
Masih ingat postingan saya tentang salah satu cerpen saya yang dibukukan bersama 30 penulis Sumatera Utara dalam buku berjudul IRONI-IRONI KEHIDUPAN? Nah, kali ini saya posting cerpen tersebut ya, selamat menikmati. Kritik dan saran boleh loh, jangan sungkan, hehhee...
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hujan. Ini malam ke-enam di bulan Maret. Ini hujan pertama
setelah menginjak malam ke-enam di bulan Maret. Bulan di mana salah satu hari
di dalamnya adalah hari di mana kita pertama kali menikmati hujan bersama. Aku
suka hujan malam ini. Juga hujan pada malam-malam sebelumnya. Hari-hari
sebelumnya. Juga hujan pada masa-masa setelah ini. Aku pasti menyukainya. Pasti
akan hadir sebuah ingatan tentang hujan yang telah lalu. Juga impian akan hujan
di masa mendatang. Hujan adalah rumah bagi kenangan yang pernah kumiliki. Yah,
kenangan. Selalu ada kenangan yang hadir tiap kali hujan turun. Entah itu sedih
atau senang. Entah itu pahit atau manis. Entah itu getir atau hambar sekalipun.
Hujan selalu menawarkan menu kenangan. Kenangan yang hampir seluruhnya berkisah
tentangmu. Setidaknya kenangan tentang hujan setahun belakangan ini.
Kuseruput kopi panas yang baru saja kusedu sendiri. Tak ada
orang lain. Aku memang selalu sendiri, bahkan sebelum kau hadir. Baru setelah
kau hadir aku tak sendiri. Sekarang, dua bulan setelah kau berlalu aku kembali
sendiri meski jiwaku selalu ramai. Ya, jiwaku tak sendiri. Ia tak pernah sepi
olehmu. Selalu ada kau dan aku dalam jiwaku. Selalu ada kita dalam ruang
pikirku. Kita bertemu belum lama. Belum genap tiga belas bulan. Tapi bukan
berarti mudah untuk menghilangkan kau dari ingatan. Bukan juga berarti tiap
hujan datang aku selalu menagisimu. Tidak. Aku tidak secengeng itu, meski pada
waktu-waktu tertentu aku bahkan lebih cengeng dari itu. Mengingatmu memang
menyakitkan, tapi toh aku tak punya pilihan lain selain mengingatmu dan menelan
pil pahit kepedihan.
Waktu itu tengah malam. Di luar hujan turun begitu
lebatnya. Di antara takutku akan kilat-kilat yang menyambar-nyambar, kudengar
irama lain. Bukan irama hujan. Bukan pula irama dahan-dahan pohon mangga di
sebelah rumah yang digoyang angin. Kudengar irama ketakutan yang tersirat lewat
ketukan di daun pintu yang kurasa sangat tergesah-gesah.
“Tolong biarkan aku masuk, kumohon, untuk malam ini saja.
Jangan katakan kalau aku di sini.”
Kau berdiri dengan gigil. Suaramu merdu meski pelan. Nyaris
tertelan hujan andai aku tak memperhatikan gerak bibirmu. Belum sempat kujawab
ucapanmu, kau telah berlari masuk dengan tubuh basah kuyup. Beberapa saat aku
hanya diam memandangi hujan yang seolah berlomba mencapai tanah. Hujan, apa kau
sengaja mengirim bidadari untuk menemaniku menikmatimu, bisikku. Wajah putih
bersih nan cantikmu, suara lembutmu, tak berlebihan jika kukatakan kau
bidadari.
Kau meringkuk ketakutan di sudut kamar sambil sesekali
menyibak tirai jendela. Menutupnya lagi lalu menunduk dengan tubuh gemetar. Aku
hanya memandangimu sedari tadi. Masih tak mengerti dengan kehadiran sosokmu
yang tiba-tiba dan mengundang begitu banyak pertanyaan di kepalaku. Siapa kau?
Kenapa tengan malam dan hujan-hujan begini mengetuk rumah orang? Atau mungkin
kau benar-benar bidadari?
“Boleh aku meminjam pakaianmu?” keningku berkerut mendengar
suaramu yang sayup-sayup. Masih semerdu tadi.
“Maksudku pakaian ibumu, saudara perempuanmu, atau
istrimu.”
Aku menggeleng. “Aku sendirian. Tidak ada pakaian
perempuan.”
“Kalau begitu pinjamkan aku pakaianmu.” Aku terkesima.
Seperti terbius lembut suaramu. Tak ada alasan untuk menggeleng meski berbagai
pertanyaan di kepalaku masih belum juga terjawab.
Malam itu kau tidur di ranjangku sedang aku semalaman tak
tidur. Hanya duduk di sofa sambil memandangimu. Itu malam pertama kita
menikmati hujan. Kau menikmatinya dengan lelap di ranjangku. Aku menikmatinya
sambil memandangimu yang lelap di ranjangku.
“Terima kasih sudah mengijinkanku bermalam di rumahmu.”
Kau membuka percakapan kita pagi itu. Aku tak menjawab.
Hanya memandangimu. Ah, entah kenapa aku tak jua bosan meski semalaman
kuhabiskan memandangimu.
“Oya, siapa namamu? Aku Hara.” Segaris senyum kau suguhkan,
coba cairkan suasana.
“Firza.”
“Terima kasih sudah mengijinkanku bermalam di rumahmu.”
Kalimat itu lagi.
“Kenapa saat hujan lebat dan tengah malam kau mengetuk
pintu rumahku?”
Jelas sekali perubahan di raut wajahmu. Tiba-tiba aku
menyesal telah begitu terus terang. Aku memang tak pandai berbasa-basi, mungkin
karena begitu banyak waktu yang kulewatkan sendiri.
“Mereka hendak menjual dan menjadikanku wanita penghibur.
Aku… aku tidak mau.”
Kau berucap terbata dengan mata berkaca-kaca sebelum
akhirnya pipimu basah. Aku hanya diam mematung.
“Mereka… mereka sudah seperti kakak dan abang buatku. Kami
tumbuh bersama di jalanan. Mereka yang selalu melindungiku. Kupikir mereka
tulus, sampai akhirnya tadi malam seorang kakakku datang bersama seorang pria
berdasi. Ia memintaku ikut serta dengan pria itu. Aku tak bisa lari saat mereka
memaksaku masuk ke mobil. Namun saat hendak ke hotel, entah bagaimana aku bisa
lari dan sampai di depan rumahmu. Aku tak tau lagi hendak kemana hujan-hujan
seperti ini. Itu sebabnya kuberanikan diri mengetuk pintu rumahmu.”
Panjang lebar kau bercerita, aku hanya mematung. Menahan
geram pada mereka yang kausebut abang dan kakak.
“Lalu, kau mau kemana sekarang?”
“Aku.. tidak tau,” ucapmu sambil menggeleng dalam tunduk.
Tak tega aku mendengar suara lembut nan sendumu.
Beberapa saat kita saling diam.
“Akan kupikirkan sambil menunggu pakaianku kering,” sambil
memandang hampa ke pakaianmu yang kugantung di jemuran kau mengucapkan kalimat
itu.
Nyatanya, ketika pakaianmu kering kau masih tinggal di
rumahku. Entah apa yang merasuki pikiranku hingga berani menahamu agar tak
pergi. Menawarkan untuk kau tinggal bersamaku dengan garansi “kau aman di
sini”. Kau yang memang tak memiliki tujuan pun akhirnya mau.
Sejak itu, aku tak lagi sendiri. Ada kau yang lelap di
ranjangku saban gelap merayap. Dan selalu ada aku yang tidur di sofa dan
terbangun beberapa kali dalam satu malam hanya untuk memastikan : kau masih di
ranjangku.
Terkadang aku tak tidur semalamam hanya untuk memandangimu.
Kau begitu memesona bahkan di saat terlelap. Sangat memesona hingga aku tak
berani mengusikmu barang sebentar. Hanya berani memandangmu tanpa punya
keberanian untuk menyentuh lembut pipimu. Pesonamu membuatku selalu ingin
menjagamu.
Hari-hariku tak sepi lagi. Aku mulai pandai berbasa-basi.
Mulai belajar cara tertawa. Rumah menjadi tempat yang sangat menyenangkan dan
selalu kurindukan. Aku seperti camar yang tak betah terbang. Selalu ingin
pulang dan mendapati senyummu. Meski keinginanku untuk memberitahu dunia –ada
kau menemani hari-hariku – tak jua kesampaian, sedikitpun aku tak berang. Aku
cukup paham, kau takut mereka menemukanmu. Itu sebabnya kau selalu memilih
menungguku di rumah dengan berbagai aktifitas : belajar memasak, merawat bunga
dan menghias rumah. Menghias wajah? Aku tak pernah mengkhawatirkannya. Kau
sangat ahli dalam hal itu. Bahkan kau sangat lihai menyapukan riasan ke wajahmu
hingga seringkali aku pangling. Terkadang kau menambahkan tahi lalat palsu di
bagian wajahmu. Lain waktu kau menggunakan rambut palsu yang ikal dan panjang
sedangkan rambutmu sendiri lurus. Di hari lain kau berdandan ala wanita karir
dengan penampilan dewasa. Pernah juga kau berpenampilan seperti mahasiswi. Aku
sungguh kagum dengan kemampuanmu berdandan. Meski kau berasal dari jalanan,
tapi sungguh kau mampu membuatku tak mengenalimu karena riasanmu. Aku curiga,
jangan-jangan tiap wanita memang memiliki kemampuan merias diri sejak mereka
lahir, seperti dirimu.
“Aku takut bertemu mereka, kalau begini kan mereka tak akan
mengenaliku.”
Begitu selalu alasanmu saat hendak keluar rumah bersamaku.
Menghabiskan waktu bersamamu tak pernah membosankan meski
hanya kita lewatkan dengan menikmati hujan dan teh panas di teras belakang. Aku
benar-benar seperti tak memerlukan hal lain untuk hiburan. Tak perlu menonton
tv atau membaca koran untuk mengisi waktu. Tak perlu bermain game. Praktis, kau begitu mudah masuk ke
hari-hariku.
*
“Apa kau masih lama pulang?”
“Ya, sepertinya aku lembur. Ada banyak pekerjaan yang harus
aku selesaikan. Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?”
“Ah tidak, entah kenapa aku ingin jalan-jalan keluar.”
“Kalau begitu tunggulah dulu, kuusahakan cepat pulang.”
“Tidak usah, aku rasa tidak apa-apa jika aku keluar
sendirian. Lagi pula sudah hampir setahun kan, mereka pasti sudah tak mencariku
lagi.”
“Tapi…”
“Tak apa, aku akan baik-baik saja, oke!”
Klik.
Sambungan diputus. Seketika aku dilanda kekhawatiran. Namun
hanya sesaat, sebab setelahnya aku kembali larut dalam dokumen-dokumen perusaan
yang menumpuk.
*
Masih hujan. Pikiranku masih asik bermain bersama bayangmu.
Kuhela napas berat, masih belum percaya : aku kembali sendiri.
“Mereka hendak menjual dan menjadikanku wanita penghibur.
Aku… aku tidak mau.”
“Haraniah Prala akhirnya tertangkap setelah buron selama
setahun. Wanita yang berprofesi sebagai wanita penghibur ini tertangkap saat
sedang berjalan di sekitar taman kota. Haraniah Prala menjadi buron setelah
diketahui membunuh rekan seprofesinya, WL dan seorang pria pengusaha kaya
berinisial NK. HP mengaku membunuh keduanya karena kesal NK tak lagi
menggunakan jasanya dan beralih ke temannya WL. Atas perbuatannya HP dijerat
pasal berlapis dan diancam hukuman penjara maksimal seumur hidup. Demikian
berita hari ini.”
Kalimat-kalimat itu seakan berlomba menyesaki gendang
telingaku. Seperti menertawaiku.
***
Kamar ke-7, Maret-Mei’12
NB : dimuat di Analisa, 06 Maret 2013
Tags:
PUBLISH MEDIA CERPEN
0 komentar