TIDAK TAHU, TIDAK PAHAM, TIDAK BISA
“Aku nggak ngerti.”
“Kau sajalah, aku tidak paham yang gitu-gituan.”
“Jangan akulah, aku nggak bisa.”
“Dari awal 'kan sudah kubilang aku tak pandai berjualan, masih juga dipaksa, bangkrut 'kan?”
“Kau sajalah, aku tidak paham yang gitu-gituan.”
“Jangan akulah, aku nggak bisa.”
“Dari awal 'kan sudah kubilang aku tak pandai berjualan, masih juga dipaksa, bangkrut 'kan?”
Seringkali
kita mendengar orang mengucapkan kalimat-kalimat senada untuk menolak
mengerjakan sesuatu atau untuk pembenaran atas kegagalan yang menimpanya.
Bahkan kita sendiri mung kin sering mengatakannya.
Ada
banyak alasan mengapa orang mengucapkan kalimat tersebut. Bisa jadi karena
memang tidak tahu/paham. Atau merasa tidak tahu/paham. Atau juga hanya alibi
agar orang memaklumi kegagalan/kesalahannya. Atau agar terhindar dari
mengerjakan suatu tugas alias malas.
Apa pun
alasannya, tidaklah bijak ketika kita menjadikan ketidaktahuan (ketidakmampuan)
kita sebagai dalih untuk menghindar, baik itu menghindar dari kesalahan,
ataupun menghindar dari pekerjaan. Jika pun memang tidak tahu, justru hal itu
harusnya menjadi motivasi diri. Bukankah pengetahuan berawal dari ketidaktahuan
yang memunculkan kei ngintahuan dalam diri seseorang dan menuntunnya untuk
mencari tahu? Bukankah orang-orang pintar dan berpe ngetahuan luas awalnya juga
tidak tahu apa-apa? Jadi, kenapa harus menghindari sesuatu dengan alasan tidak tahu?
Jika
tidak tahu, maka cari tahulah. Jika alasannya karena merasa tidak bisa, ini
yang perlu dipikirkan ulang. Benarkah kita tidak bisa melakukannya? Seringkali
kita keliru menilai diri kita sendiri. Belum dicoba, sudah mengatakan tidak
bisa. Padahal, saat kita mencobanya, bukan tidak mungkin kita bisa melaku
kannya dengan sangat baik.
Disadari
atau tidak, ketika kita mengatakan “tidak tahu” atau “tidak bisa” untuk
pembenaran dan menghindar dari suatu tugas, itu artinya kita telah berbuat
jahat terhadap diri sendiri. Bagaimana bisa?!
Begini,
ketika kita mengatakan kali mat penyangkalan, misalnya: “Aku tidak mau
mengerjakannya. Tidak paham aku hal-hal beginian, kau sajalah yang
mengerjakan,” hal itu sama saja dengan membatasi diri kita untuk berkembang lebih
baik lagi, untuk mendapat pengeta huan baru dan kemampuan yang lebih dari
sebelumnya. Kita menjahati diri sendiri dengan mengekang ruang geraknya,
melalui pemikiran “Aku tidak tahu, aku tidak bisa melakukannya” yang seringkali
keliru. Pada saat itu, kita kehilangan kesempatan untuk menam bah pengetahuan
dan kemampuan kita. Yang artinya juga, kita kehilangan kesempatan untuk
meningkatkan kompe tensi diri kita pribadi.
Kita
boleh-boleh saja mengatakan “tidak tahu”, namun dalam konteks yang benar.
Misalnya ketika seseorang mena nyakan tentang kabar teman kita kepada kita.
Jika memang tidak tahu, katakan saja tidak tahu. Namun, jika ketidak
tahuan kita menjadi alasan untuk pembe naran atau untuk menghindar dari suatu
pekerjaan, jelas-jelas ini bukan sikap yang bijak. Namun juga, bukan berarti
kita harus membusungkan dada dan mengatakan “Tenang saja, aku bisa
mengerjakannya, aku gitu loh.” Ini juga tidak dianjurkan karena belum tentu
kita bisa mengerjakannya dengan baik. Jika kita tidak tahu, cukup katakan saja
“Aku tak begitu paham, tapi aku akan mencoba sebisa yang aku mampu.”
Kuncinya
adalah, bagaimana kita menilai dan menghargai diri kita sendiri. Jika kita
menjadikan ketidaktahuan kita untuk menghindari sesuatu, jika kita menjadikan
ketidakmampuan kita untuk sebuah pembenaran, itu sama saja kita tak menghargai
diri kita sendiri. Kita menganggap diri kita tak mampu mengerjakan sesuatu
padahal sebenarnya kita mampu. Kita sengaja membiarkan diri kita dalam
ketidaktahuan hanya karena kita malas mencari tahu dan mengerjakan sesuatu.
Jangan
menjadikan ketidaktahuan/ketidakmampuan kita sebagai pembenar an dan alasan
untuk tak melakukan sesuatu yang pada akhirnya hanya menghambat ruang gerak dan
kemajuan kita. Bahasa sederhananya: jangan terlalu cepat mengatakan tidak tahu,
tidak paham, tidak bisa, kalau belum mencoba dan berusaha sebaik mungkin. Ayo,
mulai dari sekarang!
*
November 2012
nb: artikel ini dimuat di rubrik TRP - Analisa, Minggu 14 Desember 2014
Tags:
PUBLISH MEDIA ARTIKEL
0 komentar