SIBAYAK DAN SEBUAH KENYATAAN ITU
Sebenarnya
saya sudah lama ingin menulis ini. Tapi entah kenapa jadi lupa dan baru hari
ini teringat. Ceritanya awal Juni kemarin saya dan teman-teman Sheilagank Sumut
berangkat hiking ke gunung Sibayak. Sebenarnya bukan trip resmi dengan
teman-teman SG Sumut sih, hanya saja kebetulan yang berangkat sebagian besar
teman-teman SG Sumut.
Sehabis
maghrib kami berangkat dari jalan Setia Budi Medan dengan mencarter angkot
berwarna kuning langganan si Arif, korwil SG Sumut wilayah Langkat. Penumpang
pas-pasan : aq, erna, dian, bang rudi, arif, madan, kawannya madan, adiknya
arif dengan dua temannya. Sepuluh orang kami di belakang. Di depan ada supir
dan satu temannya arif juga (nggak tau saya siapa namanya, lupa).
di dalam angkot, penuh sesak euiii... |
Perjalanan
lumayan memakan waktu lama. Di Medan kejebak macet, di jalan menuju
Sidebuk-Debuk (titik terakhir angkot) juga macet karena ada pelebaran jalan.
Walaupun semakin ke atas udaranya semakin dingin, namun karena kendaraan yang
macet, jadinya gerah juga. Beberapa kali kami harus terhenti lama. Bosan,
gerah, pusing karena asap kendaraan, semua tergabung jadi satu. Ditambah lagi
cemilan juga habis, lengkaplah sudah.
Saya
lupa itu jam berapa, tapi udah tengah malam baru kami nyampe di Sidebuk-Debuk.
Huaahhh… akhirnya. Tapi… ini belum akhir loh ya, malah awal. Iya awal. Soalnya
dari sini kami harus jalan ke puncak Sibayak. Sebenarnya ada tanya yang
terbersit di kepala saya saat itu, ini kok angkotnya berentinya disini, kan
setau saya itu bisa sampai di batas akhir jalan beraspal, jadi selanjutnya
tinggal nanjak melalui anak tangga tanah dan sedikit hutan pandan. Tapi malam
itu saya memilih diam saja. Yah, nggak papa lah ngos-ngosan dikit, toh dulu
juga kerjaannya naek gunung pas masih kuliah.
ini nih pasukan yang akan meramaikan Sibayak :D |
Dari
dulu, saya kalau naik gunung tuh pasti ngos-ngosan di awal perjalanan. Karna
biasanya kan jalanan menanjak, jadi napas langsung berasa sesak dan degup
jantung bergerak lebih cepat. Biasanya di awal saja sih begitu, kalau sudah masuk
pintu rimba dan tubuh sudah beradaptasi dengan hutan, napas akan stabil.
Berdasarkan
pengalaman tersebut, saya masih mencoba rileks saat napas mulai ngos-ngosan
sementara kawan-kawan lain masih biasa-biasa saja. Tapi setelah naik ke
tanjakkan yang kesekian saya mulai ngerasa kok malah makin lelah ya, makin
sesak napasnya. Yaelaaahh… jadi berasa tua saya. Padahal itu jalanan beraspal
loh, bukan jalanan hutan seperti biasa kalau naik gunung.
Makin
lelah, saya pun makin menggerutu. Apalagi beberapa kali dilalui oleh
serombongan orang menggunakan sepeda motor yang menyapa ramah namun bikin hati
tambah panas (sabar,,,sabar hehhee..) : “Duluan ya kak, bang.” Ucap mereka
sambil membunyikan klakson dan melambaikan tangan. Saya jadi beberapa kali
protes ke Arif, kenapa harus jalan begini kalau bisa naik kendaraan sampai di
batas akhir jalan beraspal sana.
Kawan-kawan
yang lain mulai tak sabar dengan langkah kaki yang lambat dan sebentar-sebentar
berhenti. Sumpe booook, napas sesak dan kaki berasa puegeeel banget. Saya
sampai beberapa kali bilang kalau saya tak apa ditinggal disitu dan kembali ke
Sidebuk-Debuk bersama Erna (kami sama-sama ngerasa udah nggak sanggup lagi buat
ngelanjutin perjalanan), sementara yang lain melanjutkan perjalanan. Kami
ikhlas hehehe… tapi mereka nggak mau. Si Arif sampe nggandeng tangan saya
dengan sedikit ditarik-tarik saat melewati jalanan menanjak (dan memang
jalannya menanjak terus hiks..).
Dengan
susah payah, akhirnya kami sampai di batas jalanan beraspal dan harus menyusuri
jalanan setapak menanjak dengan pepohonan khas pegunungan. Tentunya terlewat
jauh dari estimasi waktu awal. Iyalah, estimasinya jalannya normal. Ini kami
jalannya lima langkah berhenti, gimana nggak molor jadwalnya.
Awalnya
saya mikir mau nggak ikut ke atas. Di posko itu saja. Tiduran sambil menghirup
udara gunung dan memandangi bintang sebelum hilang sebentar lagi (udah mau
subuh soalnya waktu itu). Tapi berhubung tikar dan sleeping bag nya nggak ada,
saya pun tak punya pilihan. Usai makan, kami beranjak naik ke puncak.
Meski
awalnya kondisi tubuh benar-benar lemah dan tubuh terasa usah bergerak karena
udara yang dingin, saat mendaki di jalan hutan saya justru oke-oke saja. Tak
menemukan kesulitan yang berarti. Padahal waktu itu gelap dan penerangan sangat
terbatas.
Sampai
di Sibayak hari sudah terang meski kabut tebal menutupi kawah. Duinginnya pool.
Cukup banyak yang mendaki kala itu. Kawan-kawan yang lain asik mencari tempat
untuk berfoto-foto. Saya memilih duduk di pinggir kawah sambil mengenang saat
dulu mendaki Sibayak lewat jalur hutan (jalur yang kami lalui saat ini jalur
pariwisata). Menerobos hutan dengan menggendong perlengkapan camping. Jauh
lebih berat dari medan yang harus dilalui jika dari jalur pariwisata. Di
Sibayak lah dulu pertama kalinya saya naik gunung. Sebelum-sebelumnya hanya pernah
camping di hutan Sibolangit. Rasanya dulu sungguh haru saat senja itu kami
sampai di puncak Sibayak, kami (Saya, Yokko, Novi, bang Arif, bang Rudi, bang
Fical) berteriak sekuat mungkin saking harunya karena akhirnya bisa sampai ke
puncak. Hmm.. masa-masa kuliah yang penuh warna :)
Pulangnya,
kami memutuskan untuk naik angkot ke Sidebuk-Debuk. Dalam perjalanan saya
berpikir, kok waktu mendaki di jalanan beraspal itu rasanya berat sekali ya.
Sementara mendaki di jalanan hutan buat saya lebih mudah. Saya pun mulai
menyangkal kalau lelahnya saya karena faktor usia. Mungkin memang mendaki di
jalan beraspal lebih melelahkan dari mendaki di jalan hutan. Analisis saya
seperti ini : kalau mendaki di jalanan lebar dan beraspal, kita hanya bertumpu
pada kedua kaki saja, semua beban diberikan ke kaki, alhasil kaki jadi mudah
pegal dan itu mempengaruhi organ tubuh lainnya, paru-paru misalnya. Nah, kalau
mendaki di jalanan setapak di hutan, kita menggunakan organ tubuh lainnya,
seperti tangan misalnya. Saat mendaki di hutan, biasanya tangan kita gunakan
untuk berpegangan di akar-akar pohon dan menghimpun kekuatan untuk menghasilkan
daya dorong tubuh ke atas, jadi beban kaki tidak begitu berat. Tekstur tanah
yang tidak rata justru membuat syaraf-syaraf kaki bekerja. Lihat deh kalau
berobat refleksi kaki, kita disuruh memijak batu-batu kerikil kan agar
syaraf-syaraf di telapak kaki kita bekerja dengan baik dan peredaran darah kita
lancar. Sementara kalau kita mendaki di jalanan beraspal mulus, justru tidak
membawa efek maksimal ke kinerja syaraf kita. Ini tentunya masih analisis
sederhana saya, penjelasan lebih pastinya, tanya ahlinya ya :D
Pengalaman
lain nih ya, kemarin saya baru ke Air terjun Teroh-Teroh dan Kolam Abadi. Untuk
mencapai kedua objek wisata tersebut, saya dan rombongan harus trekking. PP
total kami harus naik turun bukit sebanyak 12 kali (enam kali naik dan enam
kali turun), cukup melelahkan memang, tapi masih lebih mending rasanya
ketimbang saat saya harus jalan dari Sidebuk-Debuk ke batas akhir jalan
beraspal di bahu gunung Sibayak (saya bilang bahu karena dari titik akhir jalan
beraspal ke puncak gunung itu tinggal sedikit lagi jaraknya).
So,
perjalanan ke Sibayak bareng teman-teman SG Sumut kemarin itu membuat saya
berkesimpulan kalau naik gunung melewati jalanan beraspal itu lebih berat
ketimbang lewat jalur hutan. Itu menurut saya loh ya. Kalau kalian penasaran,
coba saja naik ke Sibayak melalui kedua jalur itu, lalu bandingkan sendiri J
Well,
terlepas dari semua itu. Saya senang bisa ke Sibayak lagi J
Sinabung yang mengintip di kejauhan |
biar kata dingin, tetep aja eksis :D |
Tags:
CATATAN DIAH DAILY LIFE
0 komentar